Kedai yang mungil dengan mengambil konsep angkringan Jogja. Dok Pribadi |
Mendengar
masakan dari negara lain ‑apalagi tergolong maju‑, kesan yang kita tangkap:
mewah dan mahal. Maka tidak heran bila makanan asing itu berkonsep restoran
elit, dan harga yang mahal tersebut adalah hal yang pantas dengan konsep mewah,
berkelas, dan bersih.
Namun
tidak berarti semua makanan asing tersebut tidak dapat dinikmati masyarakat
kebanyakan. Tidak sedikit yang sudah membumi dan harganya cukup terjangkau,
seperti hamburger, pizza, spaghetti, ataupun kebab. Walaupun tergolong KW
dengan berbagai modifikasi, makanan tersebut mudah dijumpai dan sudah dapat
diproduksi lokal baik dari bahan ataupun pembuatannya.
Bagaimana
dengan masakan Jepang ? Beberapa masih pada posisi elit, ada juga resto
waralaba itu pun masih menyasar kalangan menengah dan tempatnya pun di mal
ataupun tempat bergengsi lainnya. Mematahkan anggapan tersebut, hadirlah konsep
masakan Jepang yang bisa dinikmati semua kalangan (tak hanya golongan elit).
Hal itu bisa di jumpai di kota Malang, yang juga kaya akan tempat kulinernya.
Menu andalan sesuai nama kedainya Shabu Soup. Dok Pribadi |
Tempat
masakan Jepang yang “merakyat” tersebut adalah Shabu Soup yang berada di
Jalan Coklat No.1 kota Malang. Berada
pada suatu tempat dengan lahan kosong luas –yang oleh pengelolanya- dikonsep terdiri
beberapa tempat nongkrong. Shabu Soup
sendiri baru saja dirikan tepatnya 17 Feberuari 2017, namum sudah dapat
sambutan hangat dari masyarakat. Tempatnya juga stategis yang berada pada
kawasan Jalan Soekarno Hatta yang juga “sarang” para mahasiswa, dan dikelilingi
beberapa komplek perumahan. Di kawasan ini pula beterbaran tempat makan (kafe,
restoran, warung) dari yang elit sampai yang kaki lima pun ada dengan berbagai
jenis makanan dan minuman.
Menurut
pemiliknya Adhitya Rizkiwahana bahwa pilihan menjadikan masakan Jepang ini
untuk merakyat, adalah agar masakan Jepang ini bisa dinikmati seperti masakan
lainnya seperti hamburger atau pizza yang lebih dulu merakyat. Secara kebetulan
juga ia juga pernah tinggal di Jogjakarta sehingga konsep angkringan tersebut
ingin diterapkan di kedainya ini. Mengenai nama shabu kita jangan terlalu
berpandangan negatif mengarah pada obat-obatan terlarang itu. Shabu dari negara
asalnya berarti soup atau sop istilah
kita.
Beberapa nama menu yang tersedia. Dok Pribadi |
Maka
jadilah Shabu Soup ini dengan tempat yang “mungil”, terdapat enam meja dengan
dua kursi per tiapnya. Untuk jam beroperasinya buka setiap hari, Senin-Jumat
dari jam 4 sore-10 malam, khusus Sabtu-Minggu dari 2 siang-10 malam. Untuk aktifitas
pelayanannya, dikelola bersama sang istri ditambah 2 karyawan untuk
membantunya.
Untuk soal
rasa masakan kedainya ini menurut Adhitya bisa dibandingkan dengan yang punya
restoran walau tidak sama-sama persis. Semua bahan ia peroleh dari kawasan lokal
saja, baik itu bumbu ataupun daging olahan dari ayam atau ikan. Ia mengakui bahwa
beberapa masakannya telah dimodifikasi sehingga tidak sama pesis dengan
asalnya. Ada beberapa penyesuaian –sedikit- rasa sehingga nyaman bagi lidah Indonesia.
Dari semua masakan Jepang yang disajikan itu, ia menjamin kehalalannya sebab
tidak memakai dan menghindari bahan yang dilarang oleh agama (Islam).
Aneka Dimsum yang tersedia. Dok Pribadi |
Namanya juga
masakan Jepang, nama menu masakannya pun istilahnya “aneh” juga bagi telinga
kita. Namun secara garis besar dapat dikelompokkan pada tiga jenis: shabu, dimsum,
dan satay. Jika masakan sudah tersaji tampilannya pun tidak asing bagi kita. Beberapa
bahkan mirip. Dan untuk rasa memang ada kekhasan tersendiri, berbeda dengan
masakan negara kita yang mengandalkan bahan rempahnya.
Untuk urusan
harga masih cukup bersahabat dengan kantong kita. Semangkuk shabu seharga 13 ribu, aneka dimsum 7-12 ribu, aneka satay 6-11 ribu. Suatu harga yang tidak jauh beda ketika kita menikmati semangkuk bakso yang lezat. Untuk menikmatinya pun dengan
suasana yang santai. Mengenal budaya negara tetangga memang perlu, salah satunya
dengan menikmati masakannya tersebut. Caranya cukup praktis dan tak terlalu
menguras banyak biaya, kelas “merakyat” sepeti Shabu Soup bisa menjadi
pilihannya. Dengan demikian kita tidak asing dengan masakan negeri orang. Dan siapa
tahu suatu ketika kita ditakdirkan pergi ke Jepang, dan di saat itulah kita
dapat menikmati cita rasa aslinya. Ada keuntungan yang didapat, kita tidak akan ada “gegar budaya” karena
kita sudah pernah menyesuaikannya walaupun tidak sama persis.
Terima kasih kepada viva.co.id atas apresiasinya tulisan ini.
Terima kasih kepada viva.co.id atas apresiasinya tulisan ini.
enak nih......
BalasHapus^_^
Dan ramah dikantong :)
Hapus